Nama Latin : Fasciola hepatica
Phylum : Platyhelminthes
Sub Phylum : -
Ordo : Digenea
Family : Fasciolidae
Genus : -
Species : Fasciola hepatica
Kelas : Trematoda
Nama Daerah : Tidak diketahui.
Pernapasan:
Pada Fasciola hepatica tidak terdapat sistem pernafasan.
Habitat:
Meskipun biasa terdapat diOrient, tidak terdapat diWestern Hemisphere . Fasciola hepatica hidup pada hati domba.
Pencernaan:
Pada Trematoda terdapat semacam kantong usus dengan single lubang , dimana menjalani sebagai mulut dan anus. Dalam bentuk simpel usus tidak bercabang tetapi pada yang lain, percabangan terjadi yang dapat menembus ke semua bagian tubuh hal ini membuat sistem sirkulasi tidak diperlukan.
Peranan:
Fasciola hepatica hidup pada hati domba.
Daur Hidup Beberapa Cacing Kelas Trematoda
Berikut ini akan diuraikan mengenai daur hidup beberapa jenis cacing yang termasuk kelas Termatoda.
•
Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau domba. Kemudian telur keluar ke alam bebas bersama feses domba. Bila mencapai tempat basah, telur ini akan menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea auricularis-rubigranosa).
•
Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam tubuh siput selama + 2 minggu).
•
Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang disebut Redia. Hal ini berlangsung secara partenogenesis.
•
Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan berkembang menjadi larva berikutnya yang disebut serkaria yang mempunyai ekor. Dengan ekornya serkaria dapat menembus jaringan tubuh siput dan keluar berenang dalam air.
•
Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk beberapa lama. Serkaria melepaskan ekornya dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria membungkus diri berupa kista yang dapat bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya. Perhatikan tahap perkembangan larva Fasciola hepatica.
•
Apabila rumput tersebut termakan oleh domba, maka kista dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati, saluran empedu dan dewasa disana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur kembali dan siklus ini terulang lagi.
Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam tuan rumah yaitu:
1. Inang perantara yaitu siput air
Phylum : Platyhelminthes
Sub Phylum : -
Ordo : Digenea
Family : Fasciolidae
Genus : -
Species : Fasciola hepatica
Kelas : Trematoda
Nama Daerah : Tidak diketahui.
Pernapasan:
Pada Fasciola hepatica tidak terdapat sistem pernafasan.
Habitat:
Meskipun biasa terdapat diOrient, tidak terdapat di
Pencernaan:
Pada Trematoda terdapat semacam kantong usus dengan single lubang , dimana menjalani sebagai mulut dan anus. Dalam bentuk simpel usus tidak bercabang tetapi pada yang lain, percabangan terjadi yang dapat menembus ke semua bagian tubuh hal ini membuat sistem sirkulasi tidak diperlukan.
Peranan:
Fasciola hepatica hidup pada hati domba.
Daur Hidup Beberapa Cacing Kelas Trematoda
Berikut ini akan diuraikan mengenai daur hidup beberapa jenis cacing yang termasuk kelas Termatoda.
•
Cacing dewasa bertelur di dalam saluran empedu dan kantong empedu sapi atau domba. Kemudian telur keluar ke alam bebas bersama feses domba. Bila mencapai tempat basah, telur ini akan menetas menjadi larva bersilia yang disebut mirasidium. Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea auricularis-rubigranosa).
•
Di dalam tubuh siput ini, mirasidium tumbuh menjadi sporokista (menetap dalam tubuh siput selama + 2 minggu).
•
Sporokista akan menjadi larva berikutnya yang disebut Redia. Hal ini berlangsung secara partenogenesis.
•
Redia akan menuju jaringan tubuh siput dan berkembang menjadi larva berikutnya yang disebut serkaria yang mempunyai ekor. Dengan ekornya serkaria dapat menembus jaringan tubuh siput dan keluar berenang dalam air.
•
Di luar tubuh siput, larva dapat menempel pada rumput untuk beberapa lama. Serkaria melepaskan ekornya dan menjadi metaserkaria. Metaserkaria membungkus diri berupa kista yang dapat bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya. Perhatikan tahap perkembangan larva Fasciola hepatica.
•
Apabila rumput tersebut termakan oleh domba, maka kista dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati, saluran empedu dan dewasa di
Dalam daur hidup cacing hati ini mempunyai dua macam tuan rumah yaitu:
1. Inang perantara yaitu siput air
2. Inang menetap,yaitu hewan bertulang belakang pemakan rumput seperti sapi dan domba.
Gambar 1:Anatomi Fasciola hepatica
Gambar 2: tahap perkembangan larva Fasciola hepatica
Gambar 3:Daur hidup Fasciola hepatica
Pengendalian Penyakit pada Domba dan Kambing
*
Fasciolosis (infeksi cacing hati) merupakan penyakit parasiter penting pada ternak di Indonesia yang disebabkan oleh Fasciola gigantica.
Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp513 miliar/ tahun akibat rendahnya pertambahan bobot badan, hati tidak layak dikonsumsi, dan gangguan reproduksi. Penyakit juga dapat menyebabkan kematian pada ternak muda.
*
Penyakit disebabkan oleh siput air tawar (Lymnea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Siput ini berkembang biak di lahan sawah irigasi di seluruh wilayah Indonesia.
*
Cacing hati hidup di dalam dan di luar tubuh ternak. Infeksi cacing hati tidak memperlihatkan gejala klinis yang spesifik kecuali kekurusan.
* Pengendalian penyakit dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan:
- Sifat biologis cacing hati: telur, larva, dan dewasa.
- Sifat biologis siput: dinamika populasi, habitat, dan sebaran siput.
- Musuh alami cacing: cacing daun, Echinostoma sp., strigeids dan lain-lain.
- Potensi berbagai obat cacing.
* Pola pengendalian penyakit meliputi:
Limbah kandang sebagai pupuk padi harus dikomposkan.
Pengobatan pada sapi yang terserang penyakit Fasciolosis
- Jerami dari sawah dekat kandang sebagai pakan ternak harus dipotong setinggi 1-1,5 jengkal dari tanah (di atas galengan), dipotong-potong dan dijemur.
- Tidak menggembalakan ternak di daerah berair atau pernah diairi.
- Pengobatan pada musim kering/kemarau.
*
Fasciolosis (infeksi cacing hati) merupakan penyakit parasiter penting pada ternak di Indonesia yang disebabkan oleh Fasciola gigantica.
Penyakit ini menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp513 miliar/ tahun akibat rendahnya pertambahan bobot badan, hati tidak layak dikonsumsi, dan gangguan reproduksi. Penyakit juga dapat menyebabkan kematian pada ternak muda.
*
Penyakit disebabkan oleh siput air tawar (Lymnea rubiginosa) sebagai induk semang antara. Siput ini berkembang biak di lahan sawah irigasi di seluruh wilayah Indonesia.
*
Cacing hati hidup di dalam dan di luar tubuh ternak. Infeksi cacing hati tidak memperlihatkan gejala klinis yang spesifik kecuali kekurusan.
* Pengendalian penyakit dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan:
- Sifat biologis cacing hati: telur, larva, dan dewasa.
- Sifat biologis siput: dinamika populasi, habitat, dan sebaran siput.
- Musuh alami cacing: cacing daun, Echinostoma sp., strigeids dan lain-lain.
- Potensi berbagai obat cacing.
* Pola pengendalian penyakit meliputi:
Limbah kandang sebagai pupuk padi harus dikomposkan.
Pengobatan pada sapi yang terserang penyakit Fasciolosis
- Jerami dari sawah dekat kandang sebagai pakan ternak harus dipotong setinggi 1-1,5 jengkal dari tanah (di atas galengan), dipotong-potong dan dijemur.
- Tidak menggembalakan ternak di daerah berair atau pernah diairi.
- Pengobatan pada musim kering/kemarau.
2,5 Juta Manusia Terinfeksi Cacing Hati
Fasiolosis atau cacing hati adalah penyakit yang umumnya dijumpai pada ternak herbivora yang disebabkan oleh ''fasciola hepatica'' atau ''fasciola gigantica''. Spesies tersebut dapat menular ke manusia dan kurang lebih 2,5 juta manusia di dunia terinfeksi oleh fasciolosis tersebut (WHO, 1995).
''Fasciola hepatica berasal dari Eurasia dan menyebar ke Amerika dan Australia, dan fasciola gigantica umumnya terjadi di dareah tropis seperti Afrika dan Asia,'' ujar Prof Dokter Hewan Kurniasih MVSc PhD ketika menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM, di depan rapat terbuka Majelis Guru Besar di Balai Senat kampus Bulaksumur, Yogyakarta.
Menurut Prof Kurniasih, berdasarkan sejarah pemerintah Belanda telah mengimpor sapi dari Inggris dan India untuk memperbaiki jenis sapi lokal, kedua spesies fasciola itu mungkin telah terbawa dan menulari sapi lokal. Kurang lebih 80 persen ternak ruminansia terutama kerbau di Indonesia terserang fasciolosis sedangkan prevalensi fasciolosis di Indonesia berkisar antara 60-90 persen.
Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit itu diperkirakan sekitar Rp 153,6 milyar setiap tahunnya. Kerugian ekonomi tersebut berupa kerusakan hati, kekurusan dan penurunan tenaga kerja pada sapi/kerbau yang terinfeksi.
Disebutkan oleh guru besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM itu, di Indonesia fasciola hepatica pertama kali dilaporkan oleh Van Velzen (1891) dari kerbau, kemudian Kraneveld (1924) menemukan cacing tersebut pada sapi. Kemudian fasciola hepatica ditemukan juga pada hewan domestik dan hewan liar lainnya.
Dengan demikian disimpulkan bahwa fasciolosis di Indonesia secara umum disebabkan oleh fasciola gigantica yang mempunyai potensi dalam menimbulkan problem ekonomi dan kesehatan ternak. Dan strain variasi dari fasciola gigantica yang sangat besar berdasarkan pemeriksaan morfologi dan molekuler, akan mempengaruhi usaha pencegahan yang akan dilakukan.
Usaha pengembangan kit diagnosa yang cepat dan sensitif dalam mendektesi adanya infeksi fasciola gigantica secara dini diperlukan untuk tindakan pencegahan.
''Tindakan vaksinasi baik berupa pemberian antigen proteksi silang, antigen homolog, antigen esensial atau ''recombinant DNA'' terhadap fasciola gigantica diperlukan di Indonesia untuk mengurangi penyebaran fasciolosis,'' tambahnya.
Fasiolosis atau cacing hati adalah penyakit yang umumnya dijumpai pada ternak herbivora yang disebabkan oleh ''fasciola hepatica'' atau ''fasciola gigantica''. Spesies tersebut dapat menular ke manusia dan kurang lebih 2,5 juta manusia di dunia terinfeksi oleh fasciolosis tersebut (WHO, 1995).
''Fasciola hepatica berasal dari Eurasia dan menyebar ke Amerika dan Australia, dan fasciola gigantica umumnya terjadi di dareah tropis seperti Afrika dan Asia,'' ujar Prof Dokter Hewan Kurniasih MVSc PhD ketika menyampaikan pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM, di depan rapat terbuka Majelis Guru Besar di Balai Senat kampus Bulaksumur, Yogyakarta.
Menurut Prof Kurniasih, berdasarkan sejarah pemerintah Belanda telah mengimpor sapi dari Inggris dan India untuk memperbaiki jenis sapi lokal, kedua spesies fasciola itu mungkin telah terbawa dan menulari sapi lokal. Kurang lebih 80 persen ternak ruminansia terutama kerbau di Indonesia terserang fasciolosis sedangkan prevalensi fasciolosis di Indonesia berkisar antara 60-90 persen.
Kerugian ekonomi yang disebabkan oleh penyakit itu diperkirakan sekitar Rp 153,6 milyar setiap tahunnya. Kerugian ekonomi tersebut berupa kerusakan hati, kekurusan dan penurunan tenaga kerja pada sapi/kerbau yang terinfeksi.
Disebutkan oleh guru besar Fakultas Kedokteran Hewan UGM itu, di Indonesia fasciola hepatica pertama kali dilaporkan oleh Van Velzen (1891) dari kerbau, kemudian Kraneveld (1924) menemukan cacing tersebut pada sapi. Kemudian fasciola hepatica ditemukan juga pada hewan domestik dan hewan liar lainnya.
Dengan demikian disimpulkan bahwa fasciolosis di Indonesia secara umum disebabkan oleh fasciola gigantica yang mempunyai potensi dalam menimbulkan problem ekonomi dan kesehatan ternak. Dan strain variasi dari fasciola gigantica yang sangat besar berdasarkan pemeriksaan morfologi dan molekuler, akan mempengaruhi usaha pencegahan yang akan dilakukan.
Usaha pengembangan kit diagnosa yang cepat dan sensitif dalam mendektesi adanya infeksi fasciola gigantica secara dini diperlukan untuk tindakan pencegahan.
''Tindakan vaksinasi baik berupa pemberian antigen proteksi silang, antigen homolog, antigen esensial atau ''recombinant DNA'' terhadap fasciola gigantica diperlukan di Indonesia untuk mengurangi penyebaran fasciolosis,'' tambahnya.
Lingkungan dan Pola Hidup Cacing
Siklus hidup cacing adalah cacing ditularkan pada waktu ternak memakan rumput atau meminum air yang terkontaminasi atau tercemar oleh ternak lain dengan telur cacing. Bisa juga cacing disebarkan dari induk ke anaknya. Cacing hidup di usus ternak dan memproduksi banyak telur. Masalah ini biasa terjadi pada musim hujan.
Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab.
Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak. Lalu peternak yang bagaimana yang perlu mendapat perhatian lebih terkait jenis entoparasit dari golongan cacing ini?
Adalah Drh Rondang Nayati MM Kepala Sub Dinas Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau menyatakan, ternak ruminansia lebih rentan terpapar cacing bila dibanding dengan jenis ternak lainnya. Ternak dimaksud seperti sapi, kerbau, kambing dan domba.
Namun, untuk jenis ternak lainnya, kasus cacingan tetap bisa dijumpai. “Untuk kasus cacingan pada ternak, fokus kita memang pada ternak ruminansia terutama sapi dan kambing, karena kedua hewan ini sangat rentan dan populasinya di Riau juga cukup tinggi,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada ini.
Lebih lanjut dikatakannya, pada peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional yakni dengan membiarkan ternaknya mencari pakan sendiri meskipun pada lingkungan yang disinyalir telah terkontaminasi dengan cacing akan lebih memudahkan ternak terinfestasi cacing ketimbang sapi yang dipelihara dengan sentuhan pemeliharaan modern.
Manifestasi klinik Fasioliasis tergantung dari jumlah metaserkaria yang termakan oleh penderita. Dalam jumlah besar metaserkaria menyebabkan kerusakan hati, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Frekuensi invasi metaserkaria sangat menentukan beratnya Fasioliasis. Kerusakan saluran empedu oleh migrasi metaserkaria menghambat migrasi cacing hati muda selanjutnya.
Sementara itu, sumber di Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau menyatakan bahwa rumput sebagai pakan utama ternak ruminansia tetap dianggap sebagai faktor predisposisi infestasi atau adanya parasit dalam tubuh ternak. Hal ini dikaitkan dengan siklus hidup cacing sebelum masuk ke dalam tubuh ternak.
Pada cacing hati misalnya, cacing dewasa hidup di dalam duktus biliferus dalam hati domba, sapi, babi dan kadang-kadang manusia. Dikatakan narasumber dari kalangan dokter hewan itu, bentuk tubuh cacing hati seperti daun dengan ukuran 30 x 2 - 12 mm dengan bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten, merupakan modifikasi dari epidermis dan mulut disokong atau dibatasi.
Kemudian, cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek, memanjang dan membelok, mirasidium berenang dengan silianya dan serkaria dengan ekornya.
Cacing ini merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktus biliferus atau pada epithelium intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya. Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah.
Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfe, kemudian sisa-sisa metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit. Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda bersifat entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis laurer.
“Cacing hati dewasa bertelur di pembuluh empedu domba dan sapi, telur keluar melalui pembuluh empedu dan terekskresi melalui feses, kemudian telur menetas menjadi mirasidium, masuk ke dalam tubuh siput (Lymnaea sp) atau termakan oleh siput,” papar narasumber calon mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor ini.
Lalu, lanjutnya, “Infestasi cacing hati pada sapi terjadi bila kista atau metaserkaria yang keluar dari tubuh keong menempel pada tumbuh-tumbuhan air terutama selada air (Nasturqium officinale), kemudian tumbuhan tersebut dimakan sapi, masuk ke dalam tubuh sapi tersebut dan menjadi cacing dewasa yang akan menyebabkan Fasioliasis.”
Lalu apa yang harus dilakukan peternak? “Peternak harus proaktif menyikapi prilaku dan siklus hidup cacing tersebut,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta ini. Artinya, sebelum rumput diberikan kepada sapi atau ternak lainnya, rumput tersebut perlu diangin-anginkan terlebih dahulu, ini bertujuan agar Metaserkaria cacing tersebut mati.
Menurut Radiopoetro, suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.
Terkait pemberantasan cacing ini, Drh Rondang Nayati MM kembali menegaskan bahwa tetap bermula dari kemauan peternak, artinya bila peternak menginginkan ternaknya tumbuh sehat maka peternak harus memperhatikan kaidah-kaidah beternak yang baik sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh petugas lapangan.
”Budaya hidup bersih juga dapat diterapkan seperti membersihkan lingkungan sekitar kandang, menghindari genangan air dengan cara membuat saluran air, membuang atau mengumpulkan kotoran sapi dan kotoran jenis ternak lainnya pada satu tempat, sehingga pada akhirnya, peternak meraup keuntungan bukan saja dari ternak yang dipelihara, namun keuntungan lain juga datang dari limbah ikutan seperti pupuk kandang,” pungkas mantan Kepala Laboratorium type B Dinas Peternakan Provinsi Riau ini.
Mengontrol Cacing pada Ternak
Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note SPt dari SPFS (Special Programme For Food Security) FAO untuk Asia Indonesia dalam suatu kesempatan menyatakan, “Penggunaan obat anti parasit internal (cacing) dalam pemeliharaan sapi adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh peternak, karena infestasi cacing adalah suatu fenomena yang akan terus berulang secara periodik dalam siklus pemeliharaan.”
Menurut sumber SPFS FAO untuk Asia Indonesia, beberapa tehnik sederhana dalam melakukan kontrol terhadap infestasi cacing pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pakan dan mengatur waktu pemotongan rumput, suatu hal yang tentunya tidak dapat dilakukan bila sapi dibiarkan mencari pakan sendiri di padang rumput.
Pembuatan kompos dari kotoran sapi juga akan memutus siklus hidup parasit, karena telur cacing akan menyebar melalui kotoran sapi, sehingga bila kotoran sapi dikumpulkan dan digunakan untuk membuat kompos maka siklus hidup cacing akan terputus dengan sendirinya, karena adanya pemanasan pada proses dekomposisi kotoran sapi (34º C).
“Pada dasarnya beban biaya medikasi untuk pemeliharaan sapi mencapai 5-10% dari total biaya (farm overhead cost), dimana lebih kurang 50 % nya digunakan untuk biaya pembelian obat anti-cacing,” ujar Johan Purnama dan Taufikurrahman Pua Note.
Kerugian lain, lanjut mereka, yang timbul adalah adanya resistensi cacing pada beberapa jenis obat, yang memaksa peternak untuk semakin meningkatkan jumlah dosis obat yang diberikan pada sapi dimana hal ini akan memberikan efek samping yang bersifat toksik pada sapi.
“Residu obat cacing yang keluar melalui tinja juga akan semakin meningkatkan kekebalan cacing terhadap obat cacing di lingkungan penggembalaan sehingga penggunaan bahan farmasi sebenarnya menimbulkan efek negatif yang cukup signifikan,” kata mereka.
Cacing memang memerlukan kondisi lingkungan yang basah, artinya cacing tersebut bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik bila tempat hidupnya berada pada kondisi yang basah atau lembab.
Pada kondisi lingkungan yang basah atau lembab, perlu juga diwaspadai kehadiran siput air tawar yang menjadi inang perantara cacing sebelum masuk ke tubuh ternak. Lalu peternak yang bagaimana yang perlu mendapat perhatian lebih terkait jenis entoparasit dari golongan cacing ini?
Adalah Drh Rondang Nayati MM Kepala Sub Dinas Kesehatan Hewan Dinas Peternakan Provinsi Riau menyatakan, ternak ruminansia lebih rentan terpapar cacing bila dibanding dengan jenis ternak lainnya. Ternak dimaksud seperti sapi, kerbau, kambing dan domba.
Namun, untuk jenis ternak lainnya, kasus cacingan tetap bisa dijumpai. “Untuk kasus cacingan pada ternak, fokus kita memang pada ternak ruminansia terutama sapi dan kambing, karena kedua hewan ini sangat rentan dan populasinya di Riau juga cukup tinggi,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada ini.
Lebih lanjut dikatakannya, pada peternakan rakyat dengan sistem pemeliharaan yang masih bersifat tradisional yakni dengan membiarkan ternaknya mencari pakan sendiri meskipun pada lingkungan yang disinyalir telah terkontaminasi dengan cacing akan lebih memudahkan ternak terinfestasi cacing ketimbang sapi yang dipelihara dengan sentuhan pemeliharaan modern.
Manifestasi klinik Fasioliasis tergantung dari jumlah metaserkaria yang termakan oleh penderita. Dalam jumlah besar metaserkaria menyebabkan kerusakan hati, obstruksi saluran empedu, kerusakan jaringan hati disertai fibrosis dan anemia. Frekuensi invasi metaserkaria sangat menentukan beratnya Fasioliasis. Kerusakan saluran empedu oleh migrasi metaserkaria menghambat migrasi cacing hati muda selanjutnya.
Sementara itu, sumber di Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN Suska Riau menyatakan bahwa rumput sebagai pakan utama ternak ruminansia tetap dianggap sebagai faktor predisposisi infestasi atau adanya parasit dalam tubuh ternak. Hal ini dikaitkan dengan siklus hidup cacing sebelum masuk ke dalam tubuh ternak.
Pada cacing hati misalnya, cacing dewasa hidup di dalam duktus biliferus dalam hati domba, sapi, babi dan kadang-kadang manusia. Dikatakan narasumber dari kalangan dokter hewan itu, bentuk tubuh cacing hati seperti daun dengan ukuran 30 x 2 - 12 mm dengan bentuk luarnya tertutup oleh kutikula yang resisten, merupakan modifikasi dari epidermis dan mulut disokong atau dibatasi.
Kemudian, cacing dewasa bergerak dengan berkontraksinya otot-otot tubuh, memendek, memanjang dan membelok, mirasidium berenang dengan silianya dan serkaria dengan ekornya.
Cacing ini merupakan entoparasit yang melekat pada dinding duktus biliferus atau pada epithelium intestinum atau pada endothelium venae dengan alat penghisapnya. Makanan diperoleh dari jaringan-jaringan, sekresi dan sari-sari makanan dalam intestinum hospes dalam bentuk cair, lendir atau darah.
Di dalam tubuh, makanan dimetabolisir dengan cairan limfe, kemudian sisa-sisa metabolisme tersebut dikeluarkan melalui selenosit. Perbanyakan cacing ini melalui auto-fertilisasi yang berlangsung pada Trematoda bersifat entoparasit, namun ada juga yang secara fertilisasi silang melalui canalis laurer.
“Cacing hati dewasa bertelur di pembuluh empedu domba dan sapi, telur keluar melalui pembuluh empedu dan terekskresi melalui feses, kemudian telur menetas menjadi mirasidium, masuk ke dalam tubuh siput (Lymnaea sp) atau termakan oleh siput,” papar narasumber calon mahasiswa Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor ini.
Lalu, lanjutnya, “Infestasi cacing hati pada sapi terjadi bila kista atau metaserkaria yang keluar dari tubuh keong menempel pada tumbuh-tumbuhan air terutama selada air (Nasturqium officinale), kemudian tumbuhan tersebut dimakan sapi, masuk ke dalam tubuh sapi tersebut dan menjadi cacing dewasa yang akan menyebabkan Fasioliasis.”
Lalu apa yang harus dilakukan peternak? “Peternak harus proaktif menyikapi prilaku dan siklus hidup cacing tersebut,” jelas alumni Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta ini. Artinya, sebelum rumput diberikan kepada sapi atau ternak lainnya, rumput tersebut perlu diangin-anginkan terlebih dahulu, ini bertujuan agar Metaserkaria cacing tersebut mati.
Menurut Radiopoetro, suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas 5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu 24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.
Terkait pemberantasan cacing ini, Drh Rondang Nayati MM kembali menegaskan bahwa tetap bermula dari kemauan peternak, artinya bila peternak menginginkan ternaknya tumbuh sehat maka peternak harus memperhatikan kaidah-kaidah beternak yang baik sesuai dengan anjuran yang disampaikan oleh petugas lapangan.
”Budaya hidup bersih juga dapat diterapkan seperti membersihkan lingkungan sekitar kandang, menghindari genangan air dengan cara membuat saluran air, membuang atau mengumpulkan kotoran sapi dan kotoran jenis ternak lainnya pada satu tempat, sehingga pada akhirnya, peternak meraup keuntungan bukan saja dari ternak yang dipelihara, namun keuntungan lain juga datang dari limbah ikutan seperti pupuk kandang,” pungkas mantan Kepala Laboratorium type B Dinas Peternakan Provinsi Riau ini.
Mengontrol Cacing pada Ternak
Drh Johan Purnama MSc dan Taufikurrahman Pua Note SPt dari SPFS (Special Programme For Food Security) FAO untuk Asia Indonesia dalam suatu kesempatan menyatakan, “Penggunaan obat anti parasit internal (cacing) dalam pemeliharaan sapi adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh peternak, karena infestasi cacing adalah suatu fenomena yang akan terus berulang secara periodik dalam siklus pemeliharaan.”
Menurut sumber SPFS FAO untuk Asia Indonesia, beberapa tehnik sederhana dalam melakukan kontrol terhadap infestasi cacing pada ternak sapi dapat dilakukan dengan cara mengatur pemberian pakan dan mengatur waktu pemotongan rumput, suatu hal yang tentunya tidak dapat dilakukan bila sapi dibiarkan mencari pakan sendiri di padang rumput.
Pembuatan kompos dari kotoran sapi juga akan memutus siklus hidup parasit, karena telur cacing akan menyebar melalui kotoran sapi, sehingga bila kotoran sapi dikumpulkan dan digunakan untuk membuat kompos maka siklus hidup cacing akan terputus dengan sendirinya, karena adanya pemanasan pada proses dekomposisi kotoran sapi (34º C).
“Pada dasarnya beban biaya medikasi untuk pemeliharaan sapi mencapai 5-10% dari total biaya (farm overhead cost), dimana lebih kurang 50 % nya digunakan untuk biaya pembelian obat anti-cacing,” ujar Johan Purnama dan Taufikurrahman Pua Note.
Kerugian lain, lanjut mereka, yang timbul adalah adanya resistensi cacing pada beberapa jenis obat, yang memaksa peternak untuk semakin meningkatkan jumlah dosis obat yang diberikan pada sapi dimana hal ini akan memberikan efek samping yang bersifat toksik pada sapi.
“Residu obat cacing yang keluar melalui tinja juga akan semakin meningkatkan kekebalan cacing terhadap obat cacing di lingkungan penggembalaan sehingga penggunaan bahan farmasi sebenarnya menimbulkan efek negatif yang cukup signifikan,” kata mereka.
Diagnosa Tepat Bermanfaat
Diagnosa yang tepat pada hewan yang sudah terserang penyakit cacing, akan memberikan jalan untuk pengobatan yang tepat pula. Untuk ketepatan diagnosa, narasumber Infovet menyatakan perhatikan gejala yang tampak pada ternak.
Bila ternak tidak ada nafsu makan, katanya, maka periksalah dulu bagian mulut dan gigi. Periksa juga suhu (kalau tinggi, mungkin ada infeksi umum). Berikan antibiotika injeksi setiap hari selama 3 - 5 hari. “Bila bukan seperti gejala diatas setelah diperiksa, kemungkinan penyakit kronis. Hubungi dokter hewan,” katanya.
Adapun bila nafsu makan ternak bagus, ada kemungkinan pakan mutunya kurang baik/ busuk/ berjamur. Untuk itu narasumber Infovet menyatakan supaya peternak mengganti pakan.
Gejala-gejala bila ternak itu cacingan antara lain: sapi kurus dan lemah, nafsu bisa kurang, kurang darah (anaemia), lendir berwarna pucat dan sering mencret.
Selanjutnya salah satu metoda untuk melakukan diagnosa penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada sapi dan kerbau, misalnya, adalah dengan menggunakan antigen Fasciola.
Kita ambil salah satu contoh, narasumber Infovet menyatakan, antigen fasciola ini merupakan suspensi cacing hati dalam larutan garam faali dan ditambah merthiolate. Kemasannya antara lain vial berisi 5 ml antigen.Untuk penyimpanan, simpan pada suhu 2°-8° C (lemari es), jangan pada suhu beku. Selama peredaran antigen harus berada pada suhu 2°- 8° C.
Untuk pemakaian antigen fasciola ini, narasumber Infovet ini menyatakan, “Cukur bersih bulu daerah pangkal ekor dengan diameter 5 cm. Kocok antigen sampai rata sebelum dipakai. Lalu suntikkan 0,2 ml antigen intradermal ditengah tempat yang telah dicukur.”
Kemudian tunggu 15-30 menit, periksa daerah suntikan jika terjadi penebalan kulit yang mengeras (induras), ukur diameter daerah penebalan. “Hindari daerah penyuntikan dari sentuhan tangan, alkohol atau antiseptika lain sampai waktu pengukuran,” sarannya.
Akhirnya, hasil positif bila diameter penebalan lebih dari 15 mm. Negatif bila diameter penebalan kurang dari 15 mm. Interpretasinya, jika diameter penebalan lebih besar atau sama dengan 15 mm, maka ternak tersebut menderita penyakit Cacing Hati.
“Bila sama sekali tidak terjadi penebalan atau diameter penebalan kurang dari 15 mm, ternak tersebut tidak menderita penyakit Cacing Hati,” tegas sang narasumber. (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)
Diagnosa yang tepat pada hewan yang sudah terserang penyakit cacing, akan memberikan jalan untuk pengobatan yang tepat pula. Untuk ketepatan diagnosa, narasumber Infovet menyatakan perhatikan gejala yang tampak pada ternak.
Bila ternak tidak ada nafsu makan, katanya, maka periksalah dulu bagian mulut dan gigi. Periksa juga suhu (kalau tinggi, mungkin ada infeksi umum). Berikan antibiotika injeksi setiap hari selama 3 - 5 hari. “Bila bukan seperti gejala diatas setelah diperiksa, kemungkinan penyakit kronis. Hubungi dokter hewan,” katanya.
Adapun bila nafsu makan ternak bagus, ada kemungkinan pakan mutunya kurang baik/ busuk/ berjamur. Untuk itu narasumber Infovet menyatakan supaya peternak mengganti pakan.
Gejala-gejala bila ternak itu cacingan antara lain: sapi kurus dan lemah, nafsu bisa kurang, kurang darah (anaemia), lendir berwarna pucat dan sering mencret.
Selanjutnya salah satu metoda untuk melakukan diagnosa penyakit Cacing Hati (Fasciolasis) pada sapi dan kerbau, misalnya, adalah dengan menggunakan antigen Fasciola.
Kita ambil salah satu contoh, narasumber Infovet menyatakan, antigen fasciola ini merupakan suspensi cacing hati dalam larutan garam faali dan ditambah merthiolate. Kemasannya antara lain vial berisi 5 ml antigen.Untuk penyimpanan, simpan pada suhu 2°-8° C (lemari es), jangan pada suhu beku. Selama peredaran antigen harus berada pada suhu 2°- 8° C.
Untuk pemakaian antigen fasciola ini, narasumber Infovet ini menyatakan, “Cukur bersih bulu daerah pangkal ekor dengan diameter 5 cm. Kocok antigen sampai rata sebelum dipakai. Lalu suntikkan 0,2 ml antigen intradermal ditengah tempat yang telah dicukur.”
Kemudian tunggu 15-30 menit, periksa daerah suntikan jika terjadi penebalan kulit yang mengeras (induras), ukur diameter daerah penebalan. “Hindari daerah penyuntikan dari sentuhan tangan, alkohol atau antiseptika lain sampai waktu pengukuran,” sarannya.
Akhirnya, hasil positif bila diameter penebalan lebih dari 15 mm. Negatif bila diameter penebalan kurang dari 15 mm. Interpretasinya, jika diameter penebalan lebih besar atau sama dengan 15 mm, maka ternak tersebut menderita penyakit Cacing Hati.
“Bila sama sekali tidak terjadi penebalan atau diameter penebalan kurang dari 15 mm, ternak tersebut tidak menderita penyakit Cacing Hati,” tegas sang narasumber. (Daman Suska, YR/ berbagai sumber)
0 komentar:
Posting Komentar